The first thing that Aditya, 23, does when he wakes up at 7 in the morning is check the messaging app on his smartphone. That is also the last thing that Aditya, a postgraduate student living with his parents and younger brother in one of India’s big cities, does before he goes to bed 18 hours later.
In between, Aditya (we’ve changed his name) is never far from his smartphone. He uses it to listen to music on his way to his university classes, to look for deals on e-commerce sites, and to Skype with a friend who is studying abroad. Dinner table discussions of where to go on a holiday or what television to buy are usually in- formed by something that Aditya is looking at in real time on his phone.
India, China, Brazil, and other emerging markets are home to a lot of people who, like Aditya, rely on the internet either to make or guide their purchases. As of 2017, upward of 2.1 billion internet users lived in emerging markets. By 2022, that number will likely swell to around 3 billion, and three times as many internet users will live in emerging markets as in developed markets.
In terms of growth, emerging-market digital consumers represent an enormous opportunity. Even when such consumers don’t buy directly on the internet, information that they find online—typically on a smartphone—often influences their pur- chasing decisions. Four years from now, the total value of digitally influenced spending in emerging markets will approach $4 trillion, according to our estimate.
Digital Consumers, Emerging Markets, and the $4 Trillion Future (2018) – Boston Consulting GroupsCerita di atas adalah ilustrasi kehidupan mayoritas generasi produktif saat ini. Sudah sangat berubah dari pola yang ada di 10 tahun yang lalu.
Mari kita flashback, marketing outlook di Indonesia pada masa itu.
Marketing Outlook di Awal Dekade 2000
Awal tahun 2000an adalah tahun-tahun pijakan dari perubahan yang terjadi saat ini. Pada awal dekade 2000, pendekatan pemasaran yang bersifat top-down sudah mulai berubah ke era pemasaran horisontal.
Keyword yang menjadi filosofi para pebisnis dan pemasar pada masa itu adalah low budget, high impact. Semua yang aktif di dunia bisnis dan pemasaran di awal dekade 2000 pasti mengingat filosofi yang hampir selalu menjadi headline di media-media bisnis dan pemasaran pada masa ini.
Pemicunya adalah krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1998. Indonesia yang saat itu sempat berada di titik terendah, perlu berjuang keras untuk bisa kembali mencari dan membangun equilibrium baru.
Anggaran pemasaran di hampir seluruh perusahaan, nyaris tidak ada bedanya dengan daya beli masyarakat yang sangat rendah di masa itu.
Periode tersebut memaksa para pebisnis dan pemasar di Indonesia untuk menggunakan filosofi low budget, high impact ini sebagai dasar mind-set dari segala aktivitas pemasarannya. Internet yang mulai berkembang penggunaannya pada periode tersebut menjadi enabler atas prinsip ini.
Pada masa ini, mayoritas awareness untuk produk dan merek masih lebih banyak didapatkan dari aktivitas offline yang dilakukan oleh para pemilik produk atau merek. Pola persebaran informasi dari mulut ke mulut (Word of Mouth) pun masih sangat terbatas penyebarannya.
Era ini memang merupakan era booming-nya Word of Mouth Marketing (WoMM). Dan salah satu turunan dari WoMM, Community Marketing, menjadi primadona.
Komunitas menjadi tujuan dari semua pebisnis dan pemasar, baik itu komunitas yang ia buat sendiri, maupun komunitas yang sudah existing. Djarum Black Community adalah salah satu yang menikmati masa jayanya pada era ini.
Marketing Outlook di Pertengahan Dekade 2000
Mulai sejak sekitar pertengahan dekade 2000, para pemilik merek mulai memiliki kesempatan untuk menjangkau pasar dan komunitas yang lebih luas berkat internet yang semakin berkembang. Forum-forum online yang mulai marak (ode to Kaskus!), menjadi target dari para pemasar untuk melakukan penetrasi produk atau mereknya.
Era ini memang eranya forum online. Selain Kaskus, banyak forum lain yang bermunculan dan memiliki massa yang cukup besar juga. Bahkan banyak media-media nasional seperti Kompas dan Detik yang juga membuat forum online serta menyediakan blogging platform di websitenya. Semua demi menjaring dan utilizing comunnity.
Weddingku adalah salah satu yang tampil cantik menjangkau komunitas di masa itu dengan membuat komunitasnya sendiri melalui online forum di websitenya.
Marketing Outlook di Akhir Dekade 2000 dan Awal Dekade 2010
Akhir dekade 2000 dan awal dekade 2010 adalah fase yang sangat menarik bagi perkembangan dunia bisnis dan pemasaran di Indonesia.
Online Social Media yang mulai berkembang dan masif digunakan di akhir dekade 2000an menjadi angin segar, terutama bagi para UKM dan startup di masa ini, sekaligus menjadi game changer di dunia bisnis dan pemasaran.
Kreatifitas dari para pemasar berpadu dengan excitements dari para audiens masing-masing merek dalam menyambut era dan ‘pola baru’ yang diberikan oleh kemajuan perkembangan internet, media sosial, dan mobile cellular.
Dengan semakin horisontalnya arus komunikasi, amplifier informasi tidak lagi didominasi oleh TV/Radio Commercial dan printed Ad di media-media nasional maupun lokal.
Facebook dan Twitter menjadi medium utama untuk melakukan campaign. Instagram yang penggunaannya masih terbatas pada Iphone dan Ipad masih belum memiliki massa yang besar saat itu.
Surfer Girl dari Bali adalah salah satu yang layak dipuji dalam cara pemanfaatan Facebook sebagai medium brand campaign-nya. Surfer Girl sudah membuat visual story telling campaign (sering juga berupa comic strip) di akun Facebooknya, bahkan sejak sebelum Facebook meluncurkan Facebook Page.
Walau sempat tampak ‘gagap’ atas perubahan yang terjadi, merek-merek besar mayoritas banyak yang sanggup beradaptasi dengan situasi ini.
Pocari Sweat adalah salah satu pelopor dari jajaran merek besar di Indonesia yang melakukan social media campaign dengan cantik melalui akun twitternya; @pokariID.
Era inilah yang mulai membuat booming istilah, yang sebenarnya salah kaprah bila ditilik secara serius dari definisi sebenarnya; Buzzer.
Muncul individu-individu yang menjadi ‘celebrity‘ baru dalam media sosial yang menjadi target kerjasama para pemasar untuk mempromosikan produk dan mereknya. Komunikasi pemasaran berubah seketika menjadi sangat horisontal, peer-to-peer, many-to-many, dan bahkan bottom-up.
Kemajuan Internet memang membuat segalanya menjadi sangat interaktif dan dinamis. Semua orang menjadi lebih mudah mengekspresikan diri, melakukan networking, membentuk komunitas, berkolaborasi, dan berpartisipasi dalam sebuah kegiatan yang bahkan mungkin hanya dilakukan secara online.
Semua jadi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi publisher. Dan yang terpenting, semua jadi punya kesempatan yang nyaris equal untuk berjualan.
Semua aktivitas marketing langsung berubah. Nyaris semua pebisnis dan pemasar fokus atau memberikan porsi besar pada online marketing activity.
Platform e-Commerce banyak bermunculan dan disambut gembira oleh banyak UKM pada masa ini. Transaksi penjualan online yang sebelumnya banyak dilakukan di forum-forum jual beli menjadi semakin masif dengan hadirnya Bukalapak dan Tokopedia.
Berjualan menjadi semakin lintas batas. Resiko melakukan transaksi jual-beli secara online menjadi semakin kecil, Hal ini juga membuat bisnis di kategori Courier Service memiliki market demand yang luar biasa besar.
Era ini menjadi awal ter-reduksinya peran merek dalam proses buying decisions, terutama di kelompok generasi produktif. Ragam kebutuhan yang semakin banyak, dan semakin banyaknya pilihan untuk suatu produk, membuat mayoritas individu lebih mementingkan harga yang murah untuk jenis produk yang umum.
Instagram yang mulai membuka diri untuk publik yang lebih luas merilis versi Android App-nya pada bulan April tahun 2012, seiring dengan diakuisisinya Instagram oleh Facebook (9 April 2012), dan langsung diunduh lebih dari satu juta kali dalam waktu kurang dari satu hari, turut memberikan tatanan baru bagi pebisnis dan pemasar dalam memasarkan produk atau mereknya.
Walaupun sempat tidak terlalu disukai karena banyaknya spammy hashtag, meningkatnya trend untuk visual content membuat Instagram berhasil menjadi saluran promosi baru, baik itu melalui platform iklan resmi dari Instagram, maupun dengan memanfaatkan ‘Instagram Celebrity‘ sebagai saluran promosinya.
Facebook Ads, Instagram Ads, Youtube Ads, Google Ads, dan Influencer Marketing menjadi andalan utama para pemasar dan pebisnis di era ini.
Marketing Outlook di Akhir Dekade 2010 dan Awal Dekade 2020
Sejak pertengahan hingga akhir dekade 2010, dunia bisnis sudah semakin horizontal. Pola marketing nyaris sudah tidak bisa lagi bersifat top-down.
Gojek, Grab, Tokopedia, Shopee, semuanya mendominasi mayoritas transaksi yang ada di Indonesia. Semua bisa berjualan, di mana saja, ke mana saja. Hal ini meningkatkan gairah perekonomian Indonesia dari sejak grass root. Bisnis kuliner dan industri retail menjadi sangat marak dan semakin penuh sesak dengan pemain-pemain baru.
Keberadaan dompet-dompet digital seperti GoPay, OVO, dan ShopeePay, semakin mengubah pola transaksi mayoritas masyarakat Indonesia.
Hadirnya QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) yang membuat nyaris semua orang bisa bertransaksi di mana saja dan kapan saja tanpa membutuhkan uang tunai membuat transaksi menjadi semakin mudah, baik online maupun offline.
Penetrasi QRIS yang masif hingga ke level pedagang kaki lima sangat memudahkan proses transaksi dan membuat perputaran ‘uang’ semakin cepat.
Facebook Ads dan Instagram Ads yang sempat menikmati porsi besar dari anggaran iklan para pemasar dan pebisnis di awal hingga pertengahan-akhir dekade 2010 mulai meredup. Youtube Ads dan Influencer Marketing menjadi andalan utama para pemasar dan pebisnis mulai akhir dekade 2010 dan awal dekade 2020 ini.
Era ini adalah era content-creator. Era di mana nyaris semua generasi produktif berlomba-lomba membuat konten yang menarik dan meraih exposure di media-media sosial favoritnya.
Pada tahun 2020, lanskap media sosial berubah. TikTok yang awalnya adalah underdog, berubah menjadi media sosial mainstream yang banyak digunakan. Seringnya untuk hal-hal yang ‘sepele’ dan fun, walau tidak sedikit juga yang menggunakannya untuk hal-hal yang lebih serius. Instagram seketika tampak berubah menjadi media sosial yang lebih mature sejak kehadiran media sosial baru ini.
Kalau awal dekade 2000 adalah era mulai booming-nya Word of Mouth Marketing (WoMM) melalui salah satu turunannya; Community Marketing, di era ini, Word of Mouth Marketing (WoMM) semakin menunjukkan dominasinya dengan semakin maraknya Influencer Marketing, Evangelist Marketing, Buzz Marketing, Conversation Creation, Viral Marketing, dan bahkan Community Marketing itu sendiri walaupun sekarang sifatnya lebih banyak dilakukan secara online.
Baca lebih lanjut tentang Word of Mouth dan Word of Mouth Marketing.
Era ini adalah era di mana para pebisnis sudah mulai banyak menerapkan strategi Omni-channel untuk ‘menggempur’ pasar di semua platform, baik offline maupun online, yang banyak digunakan oleh target pasar yang ditujunya.
Strategi omni-channel ini banyak digunakan karena sangat efektif dan efisien dari sisi biaya dan hasil yang didapatkan, terutama karena masifnya pertumbuhan digital platform dan pendukung-pendukungnya saat ini.
Dokumentasikan product journey dan customer touch point produk atau jasa Anda menggunakan template Marketing Funnel ini.
Pandemi Covid-19 yang sempat memukul berbagai sektor industri sejak awal 2020, ternyata malah mendorong grass root economy semakin menggeliat.
Kini, saat pandemi sudah mulai berakhir, walau masih harus menghadapi ancaman krisis ekonomi global, perekonomian Indonesia bahkan sudah jauh lebih kuat dari sebelumnya. Grass root economy yang didominasi dari industri kuliner dan retail semakin bertumbuh setelah ditempa kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi di saat pandemi.
Semoga kita memang cukup kuat menghadapinya, saat krisis itu datang.